Halaman

Senin, 18 Maret 2013

Genderang Dibalik Gundukan Sampah


            Hari itu, mentari bersinar cukup terik. Panas yang ia pancarkan bagaikan panas yang selalu kurasakan saat ku membakar sampah-sampah di pembuangan sampah. Sampah, itulah sumber mata pencaharianku. Tak ada sampah yang tak ku jamah disetiap jalan. Aku memang seorang pemulung. Namaku Heni, sekarang aku masih duduk di kelas 2 SMA. Sekolah kadang ku jadikan nomor dua setelah ku dikenalkan pada dunia pemulung oleh bapakku. Sebenarnya aku dilarang untuk memulung oleh Ibu, tapi aku merasa aku mempunyai peran penting, ya jadi pemulung itu berperan sangat penting.
            Perkampungan dipinggiran kota Jakarta ini, memang terlihat kumuh. Namun ternyata dibalik kekumuhan kota Jakarta ini terdapat banyak sekali para pahlawan tersembunyi yang patut diperhitungkan Jasanya. Sebut saja mereka sebagai pahlawan sampah. Pernyataan inilah yang aku jadikan sebagai alasan pada ibu kenapa aku tetap keukeuh menjadi seorang pemulung.
            Suara ayam berkokok seakan membangunkan setiap insan yang ada disekitar perkampungan kumuh di pinggiran kota Jakarta Ini. Tapi berbeda denganku, aku sudah berjibaku dengan sebagian gelas plastik bekas yang kupisahkan dari plastik bekas lainnya.
            “Ni, cepet persiapan sekolah!” teriak Ibu dari dapur sambil asik mengaduk-aduk nasi gorengnya.
            “iya bu bentar lagi”
            “Heni, kamu itu cepat persiapan jangan sampai terlambat nanti ke sekolahnya” kata bapak yang datang dari kamarnya. Namun, pepatahnya terhenti oleh batuk yang sedang dideritanya.
            “aduh pa, bapak ini kan lagi sakit, kenapa masih keluar. Ini masih dingin pa”
            “heni, (uhuk, uhuk) bapak pengen cerita sama kamu nak” ajak bapak sambil duduk.
            “ada apa pak?”
            “begini heni, bukannya bapak melarang kamu memulung, tapi sedikitnya kamu ingat waktu sama rutinitas harian kamu. Kamu kan masih seorang siswa, jangan kamu tinggalkan kewajiban belajar kamu.”
            “tapi pak, dari sini, heni ingin berbakti sama bapak”
            “belum saatnya Ni, kamu kan masih sekolah. Dengan kamu belajar giat dan berprestasi di sekolah saja, itu sudah berbakti sama bapak”
            “tapi pak..” perkataanku terpotong oleh halusnya bantahan bapak.
            “udah... bapak ingin kamu tetap lanjutkan belajar ya. Jangan terlalu memikirkan bapak. Sana persiapan”
            Anjuran bapak bagaikan anjuran seorang raja pada prajuritnya. Langsung saja ku patuhi perintahnya. Setelah ku selesai mandi dan segalanya, langsung ku lahap nasi goreng buatan ibu. Ya walaupun nasi goreng ini hanya dihiasi oleh warna coklat kecap saja, tapi aku sangat merasa senang ibu masih perhatian padaku.
            Setelah ku kencangkan tali sepatuku, aku langsung bernagkat menimba ilmu. Kulihat Ani sahabatku juga mulai mengangkat semangatnya menggali ilmu.
            “Ani! Tungguin aku!”
            “Hay, tumben berangkat jam segini. Biasanya juga berangkatnya entar abis mulungin sampah”
            “iya, sekarang lagi kambuh penyakit rajin belajarku, hehe”
            “hu... lebay!”
            “udah yu, eh PR Bahasa Indonesia tentang artikel itu udah belum?”
            “oh udah dong, kamu tentang apa?” tanya Ani.
            “demam musik korea, hehe”
            “huu! Dasar K-Pop sejati!”
            “hehe, iya dong!, kalau kamu tentang apa?”
            “PERAN PEMULUNG DI BUMI”
            Belum saja ia merespon jawabanku, Ani langsung tertawa terbahak-bahak.
            “haha emang apa peran kamu?”
            “ya banyak lah, tanpa adanya pemulung, sampah pasti berserakan dimana mana!”
            “ah lebay deh!”
            “huu dasar”
            Hari itu aku mulai fokus pada anjuran bapak untuk fokus pada pelajaran dan mengurangi bukan menghilangkan kebiasaan memulungku. Aku sebenarnya tidak malu menjadi seorang pemulung. Menurutku pemulung adalah profesi ketiga yang mulia setelah guru dan dokter. Ya dengan adanya pemulung, sampah dapat teratasi dengan mudah. Sampah yang berserakan dijalan pun jadi enyah tersapu oleh semangat juang hidup para pemulung.
            Aku juga sebenarnya sering sekali di ejek oleh teman-temanku disekolah, disebut bau sampah lah, kutu sampah lah (persamaan kutu buku mungkin), atau apapun yang berbau sampah dan pemulung pernah kusandang. Tapi aku tetap tidak malu pada ejekan mereka. Karena dari ejekan mereka aku semakin ingin membuktikan bahwa pemulung itu berjasa besar.
            “hey lihat si Bau Sampah udah dateng, tumben berangkat pagi haha”
            Itulah kata sambutan teman-teman sekelasku saat aku datang, aku marah? Tidak. Aku kesal? Tidak mungkin. Aku muak? Takkan pernah. Bukan maksudku bangga dengan ejekann mereka tapi dari situ aku juga bisa belajar bagaimana aku bisa sabar dan menahan emosi.
            Pelajaran dimulai saat bel lonceng dari bilahan besi dipukulkan pada tiang listrik. Ya maklum, kami ini tinggal diperkampungan kumuh. Sekolah kamipun bisa dibilang kumuh. Terlalu bagus jika harus memakai bel bermusik ataupun yang sejenisnya. Tapi bel ini cukup efektif mendatangkan para insan yang haus akan pendidikan.
            Pelajaran bahasa indonesia adalah pelajaran yang kutunggu-tunggu hari ini. Pasalnya aku akan membacakan artikel yang telah kubuat untuk menyadarkan teman-temanku bahwa permulung itu penting. Bu Nina datang dengan anggunnya. Aku sudah siap dengan artikelku untuk dibacakan. Saat bu Nina meminta siapa yang akan membacakan artikelnya, aku paling pertama mengacungkan tanganku. Dan akupun dipilih untuk membacakan artikelku.
            Setelah ku membacakannya, aku pikir tepuk tangan membahana yang akan ku dapatkan dari hasil pemikiran ku itu, tapi hanya ada tawa, celetukan dan makian dari teman-temanku karena mereka menganggap aku terlalu berkhayal. Aku berpendapat bahwa pemulung itu lebih penting dari pada para pejabat yang selalu korupsi. Aku juga berpendapat bahwa aku akan mengubah dunia walaupun aku hanya seorang pemulung.
            Lucu darimana? Kenapa mereka tertawa? Aku heran. Tapi untungnya ada Eko, salah satu temanku yang tak malu untuk bertepuk tangan dan berdiri sendiri saat yang lainnya menertawakanku.
            “kenapa lu ko? Loe juga mau jadi pemulung pemimpi kayak Heni juga? Haha”
            “heh! Pernyataan Heni benar! Kita bisa mengubah dunia walaupun kita hanya seorang pemulung” jawab Eko yakin.
            Anak-anak makin tertawa membahana. Tapi aku dan Eko malah tersenyum yakin bahwa kami bisa mewujudkan perkataan itu.
            Sepulang dari sekolah, seperti biasa aku langsung berganti pakaian dan langsung berpetualang mencari sampah sampah yang akan ku ‘hajar’ hehe. Aku menyusuri jalan kota dan tak sengaja aku melihat sebuah famplet yang berisi informasi lomba tentang gerakan peduli lingkungan. Aku sangat tertarik dengan event itu. Aku bisa mengajak masyarakat untuk dapat memelihara lingkungan dengan iming-iming hadiah di lomba ini. Ya itu ide bagus. Aku langsung membawanya pada pak RT untuk merundingkannya.
            “pak saya yakin dengan kerja sama kita pasti akan megubah dunia”
            “haha... kamu pikir kami apa?”
            “tapi pak, dengan ikut lomba ini kita juga bisa dapat hadiah besar pak. Bahkan mungkin bapak bisa mendapat penghargaan dari pemerintah.”
            “hah, kamu ini, terserah kamu saja, tapi mungkin bapak gak akan ikut event kayak gituan. Paling kalau dapat hadiah, ujung-ujungnya pasti dimintai uang kan”
            “tapi ini bertujuan agar kampung kita bisa bersih dan sehat!”
            “udah udah bapak mau pergi dulu. Silahkan saja kamu atur-atur sendiri.”
            “tapi pak...” belum sempat selesai, beliau sudah pergi. Aku kesal. Tapi aku akan buktikan padanya bahwa aku bisa! Aku bisa mengubah dunia walaupun aku hanya seorang pemulung.
            Langkah pertama aku mencoba bermusyawarah dengan masyarakat lingkungan kampungku untuk melakukan program bersih-bersih kampungku. Seperti biasa, tawa, celetukan dan ejekan kembali menghampiriku. Tapi aku akan tetap menjalankan program itu. Untungnya masyarakat mau mengikuti programku itu. Walaupun dengan syarat, aku harus mengganti semua yang telah mereka keluarkan baik itu dana, makanan, tenaga dan sebagainya jika kampung kami tidak memenangkan perlombaan itu.
            Langkah demi langkah kami jalankan bersama. Mulai dari penataan lingkungannya, pembersihan got, menyimpanan tong sampah, hingga pembakaran samapah besar-besaran yang sudah tak bisa terpakai. Dan tidak lupa barang bekas yang masih bisa dipakai kami buat kerajinan serta barang-barang yang bisa kami gunakan untuk umum. Seperti kursi dan meja dari akar-akar pohon, pot bunga dari ember belah dan lain sebagainya.
            Hari itu merupakan hari terakhir kami membereskan kampung. Aku sangat lelah. Kurebahkan tubuhku dikasur tipis di bale-bale bambu di kamarku. Tak kusadari bapak datang.
            “Heni, bagaimana harimu?”
            “sangat sibuk pak. Heni cape sekali beres-beres satu kampung. Tapi Heni bangga karena Heni udah bisa menata kampung kita ini, ya walaupun sederhana tapi cukup bersih.”
            “bapak bangga sama kamu nak.” Bapak yang tak kuasa memelukku berbarengan dengan pecahnya bendungan air mata bapak. Aku mulanya heran, apa yang terjadi? Tapi aku menyadari bahwa ternyata aku telah membawa perubahan pada kampungku ini. Aku juga bangga sama bapak. Ia adalah panutanku selama ini. Tanpa semangat dari nya aku takkan bisa merubah semua ini.
            Tapi pelukan hangat bapak terhenti karena batuk bapak. Aku baru sadar batuk bapak sudah tidak wajar. Ia semakin sering batuk kadang batuk darah. Aku sudah menyuruh bapak untuk pergi ke dokter tapi ia tak mau menuruti kataku. Batuk bapak kali ini semakin parah. Ia batuk darah. Aku panik. Segera saja ku beri ia segelas air putih hangat dan menidurkannya.
            Saat bapak terlelap, aku memandangi wajahnya begitu lekat. Terlihat wajah bapak yang kulihat  penuh lelah dan kesah dulu, kini terlihat begitu damai. Aku merasa tak ada lagi masalah yang membebaninya. Akupun langsung berangkat ke kamarku untuk beristirahat.
            Hari ini adalah hari yang kutunggu-tunggu. Pengumuman lomba penataan lingkungan yang lampung kami ikuti. Sebelum berangkat, aku pamitan pada ibu, agar aku mendapatkan yang terbaik dari kompetisi ini. Tapi saat ku akan pamit pada bapak, aku lihat ia masih belum bangun. Mungkin ia kelelahan. Aku urungkan niatku membangunkan bapak. Langsung saja ku berangkat. Tapi saat ku tutup pintu kamar bapak, aku berjanji akan berusaha menjadi yang terbaik di kompetisi ini.
            Sesampainya di tempat pengumuman, aku sangat deg-degan. Seperti biasa. Acara pengumuman pemenang tidak langsung dilaksanakan. Berbagai macam acara seperti seminar lingkungan dan acara lainnya mendahului pengumuman pemenang. Saat kulihat hasil dari penataan lingkungan peserta lainnya, aku mulai pesimis. Banyak sekali perubahan yang bagus dan lebih indah yang mereka capai dalam penataan lingkungan tersebut. Tapi dari situ aku sadar aku tak ingin mengincar kemenangan. Yang penting lingkungan kampungku telah bersih dan rapi.
            Hingga akhirnya tibalah pada acara pengumuman pemenang. Aku mulai deg-degan. Saking gugupnya aku, aku langsung pergi ke kamar mandi. Disana aku malah melamun. Bagaimana jika kampungku tidak memenangkan lomba ini? Aku harus mengganti semua biaya penataan lingkungan yang telah kami laksanakan. Terfikir kembali darimana ku mendapatkan uang? Bapak? Arrgghh tidak mungkin aku minta sama bapak. Fikiranku semakin kacau balau. Sudah saja aku kembali ke acara.
            Betapa kagetnya aku saat ku masuk ke ruangan seminar tersebut, juara 1 lomba penataan desa ini dimenangkan oleh desa Sukahati. Desaku! Alhamdulilah.... sujud syukur tak lupa ku laksanakan. Aku sangat tidak menyangka akan hal ini. Aku, aku... arrhhgg, aku tak bisa berkata-kata lagi. Sekarang aku hanya ingin memeluk Bapak dan Ibu dan berkata “aku bisa pak, bu! Aku bisa membuktikan perkataanku!”
            Lalu aku langsung pulang. Terbayang wajah bapak saat melihat aku membawa hadiahnya. Aku lihat bapak akan tersenyum manis menyambutku. Aku langsung memeluknya. Memeluknya begitu erat. Tapi, sesuatu terjadi sangat berbeda. Kenapa bendera kuning terpampang di depan rumahku? Aku langsung berlari masuk ke rumah. Hatiku bagai tersayat pisau berkarat. Bendungan air mata bagaikan pecah saat kulihat jasad bapak telah terbujur kaku. Apa yang terjadi pada bapak? Kenapa ini terjadi? Aku sangat sedih. Aku tak kuasa menahan air mataku bercucuran bak hujan deras dipadang pasir. Semuanya seketika berubah menjadi gelap gulita.
            Saat kubuka mata, aku melihat dinding langit-langit rumah yang dihiasi lampu berwarna kuning pudar. Fikiranku langsung tertuju pada bapak. Dimana bapak?
            “bu bapak kemana?”
            Belum sempat ibu menjawab pertanyaanku, air mata ibu kembali pecah dari matanya yang sudah sembam itu. Aku juga tak bisa menahan air mata. Aku sangat sedih, kenapa bapak pergi saat ku ingin menunjukan bahwa aku sudah bisa menunjukan aku bisa. Aku bisa membuktikan dan mewujudkan perkataanku. Aku sedih. Ya Allah kenapa engkau ambil bapak ya Allah, aku tak ingin kehilangan dia. Aku ingin ia tetap berada disini untuk tetap menyemangati ku. Membakar terus semangat hari-hariku. Aku ingin bapak ya Allah. Namun, walaupun demikian aku akan tetao berjuang untuk tetap membuat bumi indah walaupun aku seorang pemulung.

Jumat, 15 Februari 2013

Cinta Lembayung Senja




            Matahari di ufuk timur sudah mulai menampakkan sinarnya pagi itu, para petanipun sudah mulai beranjak ke pesawahan untuk bekerja. Tapi aku saat itu masih saja bermanja di bawah selimut tebal berwarna ungu kesukaanku. Ku dengar suara ibu dari kejauhan sudah mulai menggangguku.
            “Nin, bangun nak! Sudah pagi!”
            Aku hanya membalasnya dengan kata iya dengan mata masih tertutup. Namun, saat kulihat jam weker buah anggurku sudah menunjukan pukul 05.40
            “haahh…… astagfirulloh, aku kesiangan” sesegera mungkin aku beranjak ke kamar mandi untuk bersiap-siap ke sekolah.
            Setelah selesai mandi, aku sangat terburu-buru hingga busa di telingaku masih terpangpang nyata. Aku sangat malu karena Niko yang mengingatkanku. Aku sangat malu. Ya bayangkan saja aku diingatkan oleh pacarku sendiri gara-gara kecerobohanku sendiri. Tapi untungnya Niko tak begitu menghiraukan apa yang terjadi. Kami pun meluncur ke sekolah dengan motor Ninja warna birunya.
            Sesampainya di sekolah, aku langsung masuk ke kelas. Begitupun Niko. Niko adalah pacarku yang kini duduk di kelas 3 sedangkan aku masih duduk di kelas 2. Pacaran sama kakak kelas itu memang sedikit repot. Kadang aku sendiri yang harus memaksakan diri untuk dapat mengerti keadaan Niko bagaimanapun. Sebenarnya aku merasa risih sejak berpacaran dengannya. Bukan apa-apa, tapi aku merasa aku hanya dimanfaatkan oleh Niko. Aku juga merasa bingung. Apa yang aku lakukan ini? Tapi kadang aku juga menghapuskan rasa itu.
            Hingga suatu ketika aku merasa benar-benar dimanfaatkan oleh Niko. Saat itu, aku sedang sibuk-sibuknya menyiapkan persentasi. Tapi hari itu terganggu dengan keinginan yang aneh dari Niko. Entah angin apa yang menerpanya, tapi hari itu Niko memintaku untuk menemaninya untuk pergi ke pasar. Aku juga merasa aneh. Kapan dan mau apa Niko ke Pasar? Sejak kapan Niko senang ke Pasar? Tapi dengan ketulusan hati akupun mengorbankan waktu persiapan persentasiku untuk menemani Niko ke Pasar.
            Disana, aku merasa dijadikan “pembantu” oleh Niko. Aku disuruh membeli ini, itu, bawa ini, bawa itu, dan dengan uangku sendiri. Aku merasa diperbodoh oleh Niko. Dan yang paling bodohnya, kenapa aku mau diperlakukan seperti itu? Tapi aku terus bersabar. Tak ada salahnya menurutku membatu pacarku sendiri.
            Hari demi hari pun berlalu. Aku heran semakin kesini, sifat Niko pun juga perlahan mulai berubah. Ia jadi sering menyuruhku mengerjakan pekerjaannya sendiri, jarang menjemputku lagi saat ke sekolah, dan banyak lagi sifat yang berubah dari diri Niko. Aku sangat kecewa dengan perubahan dia.
            Aku juga sangat kecewa saat suatu kejadian hampir merenggut nyawaku. Dan itu karena ulah Niko. Dan kesalnya, Niko seakan-akan itu merupakan murni adalah kesalahanku. Saat itu aku dan Niko sedang memasak dirumahnya. Aku mulai memasangkan teko di kompor gas. Tapi saat itu Niko yang memasukan airnya. Aku masih ingat bahwa ia yang memasukan air ke tekonya. Dan saat itu ia juga yang akan mengangkat Teko jika sudah mendidih. Tapi saat itu ia lupa. Dan komporpun meledak karena tak ada air di teko dan api yang terlalu besar. Disana aku yang hampir tebakar hidup-hidup karena mencoba mematikan apinya. Tapi apa yang dilakukan Niko. Ia langsung keluar tanoa memperdulikanku. Aku sangat kecewa pada Niko. Tapi aku menahan rasa itu. Aku masih menganggapnya seorang pujaan hati.
            Hingga akhirnya, aku mencoba ingin mengakhiri hubungan ini, tapi aku tak sanggup karena hari itu keadaan Niko sedang sakit. Akupun menengoknya dirumah.
            “assalamualaikum” salamku saat memasuki kamar Niko. Kulihat Niko sedang terbaring pulas. Aku mencoba membangunkannya tapi ia hanya menjawabnya dengan suara raungan kecil dengan nada orang marah. Aku kaget.
            Selama seharian ini aku terus menjaga Niko. Mengantarkannya makanan, menyuapinya, tapi kulihat ia seakan merasa terganggu dengan keberadaanku. Hingga saat sore datang aku meminta izin untuk pamit pada Niko.
            “ko, Niko, aku pulang dulu ya..”
            “euhh…” kembali raungan tak mengenakkan terlempar dari mulutnya.
            “cepet sembuh ya, jangan lupa minum obat, terus aku nyimpen buah-buahan di dekat kasur itu, dimakan yah…” kataku pada Niko yang pura-pura tidur dan tak mendengarkanku. Tapi aku tetap mengingatkannya.
            Saat itu, ada yang aneh saat kuliaht wajah Niko. Aku seakan tak ingin meninggalkannya. Wajahnya begitu damai. Dan aku tak sanggup meninggalkannya. Sampai-sampai aku meneteskan air mata saat dia melepaskan genggaman tangannya seakan menyuruhku untuk cepat pergi. Tapi sepertinya aku sudah tak diinginkan lagi didini. Dan akhirnya aku meninggalkannya.
            Berat sebenarnya meninggalkan Niko, tapi apa boleh buat. Saat ku keluar dari rumah Niko, aku langsung menghidupkan motor matic-ku suara derunga mesin motor mengiringi kepergiannku. Di jalan aku masih terngiang wajah Niko yang begitu damainya. Aku seakan ingin kembali ke rumahnya dan memeluknya dengan erat. Saat itu aku berhenti didekan pertigaan, aku berfikir apakah ku harus kembali ke rumah Niko? Dan akhirnya ku putuskan untuk kembali ke rumah Niko.
            Namun, saat ku membalikkan arah, sebuah truk besar menabrakku. Aku melihat cahaya lampunya yang begitu menyilaukan menghantam kepalaku. Saat itu aku tak dapat mengingat apa-apa lagi. Aku hanya mampu menyebutkan lafadz allohukabar dan semuanya berubah menjadi gelap gulita. Selamat tinggal Niko. Maafkan aku.