Halaman

Jumat, 15 Februari 2013

Cinta Lembayung Senja




            Matahari di ufuk timur sudah mulai menampakkan sinarnya pagi itu, para petanipun sudah mulai beranjak ke pesawahan untuk bekerja. Tapi aku saat itu masih saja bermanja di bawah selimut tebal berwarna ungu kesukaanku. Ku dengar suara ibu dari kejauhan sudah mulai menggangguku.
            “Nin, bangun nak! Sudah pagi!”
            Aku hanya membalasnya dengan kata iya dengan mata masih tertutup. Namun, saat kulihat jam weker buah anggurku sudah menunjukan pukul 05.40
            “haahh…… astagfirulloh, aku kesiangan” sesegera mungkin aku beranjak ke kamar mandi untuk bersiap-siap ke sekolah.
            Setelah selesai mandi, aku sangat terburu-buru hingga busa di telingaku masih terpangpang nyata. Aku sangat malu karena Niko yang mengingatkanku. Aku sangat malu. Ya bayangkan saja aku diingatkan oleh pacarku sendiri gara-gara kecerobohanku sendiri. Tapi untungnya Niko tak begitu menghiraukan apa yang terjadi. Kami pun meluncur ke sekolah dengan motor Ninja warna birunya.
            Sesampainya di sekolah, aku langsung masuk ke kelas. Begitupun Niko. Niko adalah pacarku yang kini duduk di kelas 3 sedangkan aku masih duduk di kelas 2. Pacaran sama kakak kelas itu memang sedikit repot. Kadang aku sendiri yang harus memaksakan diri untuk dapat mengerti keadaan Niko bagaimanapun. Sebenarnya aku merasa risih sejak berpacaran dengannya. Bukan apa-apa, tapi aku merasa aku hanya dimanfaatkan oleh Niko. Aku juga merasa bingung. Apa yang aku lakukan ini? Tapi kadang aku juga menghapuskan rasa itu.
            Hingga suatu ketika aku merasa benar-benar dimanfaatkan oleh Niko. Saat itu, aku sedang sibuk-sibuknya menyiapkan persentasi. Tapi hari itu terganggu dengan keinginan yang aneh dari Niko. Entah angin apa yang menerpanya, tapi hari itu Niko memintaku untuk menemaninya untuk pergi ke pasar. Aku juga merasa aneh. Kapan dan mau apa Niko ke Pasar? Sejak kapan Niko senang ke Pasar? Tapi dengan ketulusan hati akupun mengorbankan waktu persiapan persentasiku untuk menemani Niko ke Pasar.
            Disana, aku merasa dijadikan “pembantu” oleh Niko. Aku disuruh membeli ini, itu, bawa ini, bawa itu, dan dengan uangku sendiri. Aku merasa diperbodoh oleh Niko. Dan yang paling bodohnya, kenapa aku mau diperlakukan seperti itu? Tapi aku terus bersabar. Tak ada salahnya menurutku membatu pacarku sendiri.
            Hari demi hari pun berlalu. Aku heran semakin kesini, sifat Niko pun juga perlahan mulai berubah. Ia jadi sering menyuruhku mengerjakan pekerjaannya sendiri, jarang menjemputku lagi saat ke sekolah, dan banyak lagi sifat yang berubah dari diri Niko. Aku sangat kecewa dengan perubahan dia.
            Aku juga sangat kecewa saat suatu kejadian hampir merenggut nyawaku. Dan itu karena ulah Niko. Dan kesalnya, Niko seakan-akan itu merupakan murni adalah kesalahanku. Saat itu aku dan Niko sedang memasak dirumahnya. Aku mulai memasangkan teko di kompor gas. Tapi saat itu Niko yang memasukan airnya. Aku masih ingat bahwa ia yang memasukan air ke tekonya. Dan saat itu ia juga yang akan mengangkat Teko jika sudah mendidih. Tapi saat itu ia lupa. Dan komporpun meledak karena tak ada air di teko dan api yang terlalu besar. Disana aku yang hampir tebakar hidup-hidup karena mencoba mematikan apinya. Tapi apa yang dilakukan Niko. Ia langsung keluar tanoa memperdulikanku. Aku sangat kecewa pada Niko. Tapi aku menahan rasa itu. Aku masih menganggapnya seorang pujaan hati.
            Hingga akhirnya, aku mencoba ingin mengakhiri hubungan ini, tapi aku tak sanggup karena hari itu keadaan Niko sedang sakit. Akupun menengoknya dirumah.
            “assalamualaikum” salamku saat memasuki kamar Niko. Kulihat Niko sedang terbaring pulas. Aku mencoba membangunkannya tapi ia hanya menjawabnya dengan suara raungan kecil dengan nada orang marah. Aku kaget.
            Selama seharian ini aku terus menjaga Niko. Mengantarkannya makanan, menyuapinya, tapi kulihat ia seakan merasa terganggu dengan keberadaanku. Hingga saat sore datang aku meminta izin untuk pamit pada Niko.
            “ko, Niko, aku pulang dulu ya..”
            “euhh…” kembali raungan tak mengenakkan terlempar dari mulutnya.
            “cepet sembuh ya, jangan lupa minum obat, terus aku nyimpen buah-buahan di dekat kasur itu, dimakan yah…” kataku pada Niko yang pura-pura tidur dan tak mendengarkanku. Tapi aku tetap mengingatkannya.
            Saat itu, ada yang aneh saat kuliaht wajah Niko. Aku seakan tak ingin meninggalkannya. Wajahnya begitu damai. Dan aku tak sanggup meninggalkannya. Sampai-sampai aku meneteskan air mata saat dia melepaskan genggaman tangannya seakan menyuruhku untuk cepat pergi. Tapi sepertinya aku sudah tak diinginkan lagi didini. Dan akhirnya aku meninggalkannya.
            Berat sebenarnya meninggalkan Niko, tapi apa boleh buat. Saat ku keluar dari rumah Niko, aku langsung menghidupkan motor matic-ku suara derunga mesin motor mengiringi kepergiannku. Di jalan aku masih terngiang wajah Niko yang begitu damainya. Aku seakan ingin kembali ke rumahnya dan memeluknya dengan erat. Saat itu aku berhenti didekan pertigaan, aku berfikir apakah ku harus kembali ke rumah Niko? Dan akhirnya ku putuskan untuk kembali ke rumah Niko.
            Namun, saat ku membalikkan arah, sebuah truk besar menabrakku. Aku melihat cahaya lampunya yang begitu menyilaukan menghantam kepalaku. Saat itu aku tak dapat mengingat apa-apa lagi. Aku hanya mampu menyebutkan lafadz allohukabar dan semuanya berubah menjadi gelap gulita. Selamat tinggal Niko. Maafkan aku.