Matahari di ufuk timur sudah mulai
menampakkan sinarnya pagi itu, para petanipun sudah mulai beranjak ke pesawahan
untuk bekerja. Tapi aku saat itu masih saja bermanja di bawah selimut tebal
berwarna ungu kesukaanku. Ku dengar suara ibu dari kejauhan sudah mulai
menggangguku.
“Nin, bangun nak! Sudah pagi!”
Aku hanya membalasnya dengan kata
iya dengan mata masih tertutup. Namun, saat kulihat jam weker buah anggurku
sudah menunjukan pukul 05.40
“haahh…… astagfirulloh, aku
kesiangan” sesegera mungkin aku beranjak ke kamar mandi untuk bersiap-siap ke
sekolah.
Setelah selesai mandi, aku sangat
terburu-buru hingga busa di telingaku masih terpangpang nyata. Aku sangat malu
karena Niko yang mengingatkanku. Aku sangat malu. Ya bayangkan saja aku
diingatkan oleh pacarku sendiri gara-gara kecerobohanku sendiri. Tapi untungnya
Niko tak begitu menghiraukan apa yang terjadi. Kami pun meluncur ke sekolah
dengan motor Ninja warna birunya.
Sesampainya di sekolah, aku langsung
masuk ke kelas. Begitupun Niko. Niko adalah pacarku yang kini duduk di kelas 3
sedangkan aku masih duduk di kelas 2. Pacaran sama kakak kelas itu memang
sedikit repot. Kadang aku sendiri yang harus memaksakan diri untuk dapat
mengerti keadaan Niko bagaimanapun. Sebenarnya aku merasa risih sejak
berpacaran dengannya. Bukan apa-apa, tapi aku merasa aku hanya dimanfaatkan
oleh Niko. Aku juga merasa bingung. Apa yang aku lakukan ini? Tapi kadang aku
juga menghapuskan rasa itu.
Hingga suatu ketika aku merasa
benar-benar dimanfaatkan oleh Niko. Saat itu, aku sedang sibuk-sibuknya
menyiapkan persentasi. Tapi hari itu terganggu dengan keinginan yang aneh dari
Niko. Entah angin apa yang menerpanya, tapi hari itu Niko memintaku untuk
menemaninya untuk pergi ke pasar. Aku juga merasa aneh. Kapan dan mau apa Niko
ke Pasar? Sejak kapan Niko senang ke Pasar? Tapi dengan ketulusan hati akupun
mengorbankan waktu persiapan persentasiku untuk menemani Niko ke Pasar.
Disana, aku merasa dijadikan
“pembantu” oleh Niko. Aku disuruh membeli ini, itu, bawa ini, bawa itu, dan
dengan uangku sendiri. Aku merasa diperbodoh oleh Niko. Dan yang paling
bodohnya, kenapa aku mau diperlakukan seperti itu? Tapi aku terus bersabar. Tak
ada salahnya menurutku membatu pacarku sendiri.
Hari demi hari pun berlalu. Aku
heran semakin kesini, sifat Niko pun juga perlahan mulai berubah. Ia jadi
sering menyuruhku mengerjakan pekerjaannya sendiri, jarang menjemputku lagi
saat ke sekolah, dan banyak lagi sifat yang berubah dari diri Niko. Aku sangat
kecewa dengan perubahan dia.
Aku juga sangat kecewa saat suatu
kejadian hampir merenggut nyawaku. Dan itu karena ulah Niko. Dan kesalnya, Niko
seakan-akan itu merupakan murni adalah kesalahanku. Saat itu aku dan Niko
sedang memasak dirumahnya. Aku mulai memasangkan teko di kompor gas. Tapi saat
itu Niko yang memasukan airnya. Aku masih ingat bahwa ia yang memasukan air ke
tekonya. Dan saat itu ia juga yang akan mengangkat Teko jika sudah mendidih.
Tapi saat itu ia lupa. Dan komporpun meledak karena tak ada air di teko dan api
yang terlalu besar. Disana aku yang hampir tebakar hidup-hidup karena mencoba
mematikan apinya. Tapi apa yang dilakukan Niko. Ia langsung keluar tanoa
memperdulikanku. Aku sangat kecewa pada Niko. Tapi aku menahan rasa itu. Aku
masih menganggapnya seorang pujaan hati.
Hingga akhirnya, aku mencoba ingin
mengakhiri hubungan ini, tapi aku tak sanggup karena hari itu keadaan Niko
sedang sakit. Akupun menengoknya dirumah.
“assalamualaikum” salamku saat
memasuki kamar Niko. Kulihat Niko sedang terbaring pulas. Aku mencoba
membangunkannya tapi ia hanya menjawabnya dengan suara raungan kecil dengan
nada orang marah. Aku kaget.
Selama seharian ini aku terus
menjaga Niko. Mengantarkannya makanan, menyuapinya, tapi kulihat ia seakan
merasa terganggu dengan keberadaanku. Hingga saat sore datang aku meminta izin
untuk pamit pada Niko.
“ko, Niko, aku pulang dulu ya..”
“euhh…” kembali raungan tak
mengenakkan terlempar dari mulutnya.
“cepet sembuh ya, jangan lupa minum
obat, terus aku nyimpen buah-buahan di dekat kasur itu, dimakan yah…” kataku
pada Niko yang pura-pura tidur dan tak mendengarkanku. Tapi aku tetap
mengingatkannya.
Saat itu, ada yang aneh saat kuliaht
wajah Niko. Aku seakan tak ingin meninggalkannya. Wajahnya begitu damai. Dan
aku tak sanggup meninggalkannya. Sampai-sampai aku meneteskan air mata saat dia
melepaskan genggaman tangannya seakan menyuruhku untuk cepat pergi. Tapi
sepertinya aku sudah tak diinginkan lagi didini. Dan akhirnya aku
meninggalkannya.
Berat sebenarnya meninggalkan Niko,
tapi apa boleh buat. Saat ku keluar dari rumah Niko, aku langsung menghidupkan
motor matic-ku suara derunga mesin motor mengiringi kepergiannku. Di jalan aku
masih terngiang wajah Niko yang begitu damainya. Aku seakan ingin kembali ke
rumahnya dan memeluknya dengan erat. Saat itu aku berhenti didekan pertigaan,
aku berfikir apakah ku harus kembali ke rumah Niko? Dan akhirnya ku putuskan
untuk kembali ke rumah Niko.
Namun, saat ku membalikkan arah,
sebuah truk besar menabrakku. Aku melihat cahaya lampunya yang begitu
menyilaukan menghantam kepalaku. Saat itu aku tak dapat mengingat apa-apa lagi.
Aku hanya mampu menyebutkan lafadz allohukabar dan semuanya berubah menjadi
gelap gulita. Selamat tinggal Niko. Maafkan aku.