Halaman

Rabu, 26 Desember 2012

Musim Gugur di Senja Hari



                Penyesalan, ya mungkin itulah yang mengelayuti hatiku selama 8 tahun ini. Bagaimana tidak, kehilangan seseorang yang aku sayangi, tapi ku tak asa di sampingnya saat ia menghembuskan nafas terakhirnya.        
                Ini bermula saat ku duduk di kelas 1 SD, saat itu Ibu terlihat sehat-sehat saja. Tak ada tanda-tanda yang menunjukan kalau dia sedang sakit. Saat itu bertepatan dengan pembagian rapt ku di sekolah. Tapi sayangnya, Bapak dan Ibu tidak bisa datang ke seklah untuk mengambil raporku karena Bapak mengantar Ibu ke rumah sakit karena akhir-akhir ini Ibu sering sekali pingsan. Sebenarnya aku iri melihat teman-temanku diantar leh orang tuanya untuk mengambil rapot, tapi apa boleh buat, Bapak dan Ibu berhalangan hadir. Tapi itu tergantikan dengan rasa banggaku ketika ternyata aku mendapat rangking pertama di kelasku. Aku sangat bangga. Aku akan menghadiahkan ini pada Ibuku, kataku dalam hati.
                “assalamualaikum..” salamku saat ku masuk rumah, tapi tak ada yang menjawab
                “bu, pak,…” teriakku namun tetap takk ada yang menjawab.
                Aku beranjak ke kamar Ibu, tapi ternyata tak ada siapapun, aku hanya melihat baju Ibu berantakan dan lemarinya pun terbuka, akupun beranjak keluar, dan ku lihat paman.
                “paman, lihat Ibu tidak?”
                “paman lihat tadi ke rumah sakit, lalu bapakmu datang lalu pergi lagi ke rumah sakit, tampaknya ia sangat terburu-buru”
                Mendengar pernyataan itu aku sangat kaget, hatiku bak disayat pisau berkarat. Aku menangis sendiri di rumah.
                Sorenya, bapak pulang,
                “Ibu mana pak?”
                “Ibumu di rawat”
                “memangnya Ibu kenapa pak?”
                “sudahlah, jangan banyak tanya, bapak mau ke rumah sakit lagi, sekarang kamu jagain rumah!”
                “Tapi pak, Aji pengen ikut!”
                “sudahlah kamu jaga rumah saja”
                Mendengar seperti itu, aku menangis. Akhirnya aku diajak bapak ke rumah sakit karena melihatku seperti itu.
                Sesampainya di rumah sakirt, aku bertanya pada dokter disana. Betapa kagetnya aku saat ku tahu ternyata Ibu terkena kanker payudara stadium 4. Aku sangat sedih, kenapa ini harus terjadi pada Ibu. Aku menangis sendiri. Ku lihat Ibu terbaring emah di tempat tidur. Dan sejak saat itulah aku tak bisa lagi memeluk Ibu.
                Karena keadaan ekonomi keluargaku yang bisa dibilang kurang, akhirnya bapak memutuskan untuk merawat Ibu dirumah. Dan sejak saat itu kami hanya bisa mengobati Ibu seadanya.
                Hari berganti hari, bulan berganti bulan, dan akhirnya genap 2 tahun Ibu menahan pahit getirnya mengidap penyakit kanker payudara stadium 4. Betapa tangguhnya Ibu saat dokter mengetahui bahwa Ibu dapat menahan penyakit kanker payudara stadium 4 ini selama ini. Aku juga tidak menyangka Ibu sekuat itu. Aku bangga pada Ibu.
                Hingga suatu ketika, Ibu memanggilku,
                “Ji, Aji, kesini nak”
                “iya bu?”
                “pijitin kaki Ibu ya!...”
                “iya bu..” kataku menurut
                “Ji, kamu temenin Ibu ya disini”
                “iya bu..”
                “Ibu ingin istirahat, tapi Aji jangan pergi kemana-mana”
                “iya bu”.. aku pun melanjutkan memijit Ibu, hingga ku lihat Ibu mulai mengantuk dan tertidur.
                Melihat keadaan seperti itu, aku pun keluar untuk bermain
                “kak, aku pergi main dulu ya”
                “iya, tapi jangan jauh-jauh” pesan kakakku
                Akupun pergi ke lapang untuk bermain bola bersama teman-temanku, namun baru saja kami melakukan pembagian tim, bibiku sudah mengajakku untuk pulang.
                “ada apa bi?” tanyaku penasaran
                “Ibu, Ibumu…. Ibumu Ji….” Bersamaaan dengan isak tangis
                Ibu kenapa bi?” tanyaku penasaran
                “Ibu…. Ibumu meninggal Ji”.. mendengar jawaban bibi, hatiku bagaikan ditebas pedang berkarat yang tiada tara perihnya. Dan seketika, dunia menjadi gelap.
                Saat ku terbangun, kulihat langit-langit rumah yang putih seakan menenangkan hati, namun, aku beranjak saat ku ingat Ibu.
                “Ibu… Ibu… Ibu dimana bi..?”
                “Ibumu telah dimakamkan Ji”
                Aku langsung menangis, aku tak kuasa mendengar hal itu. Apakah ini benar? Apakah Ibu benar-benar meninggal? Hatiku bertanya-tanya.
                Dan sejak saat itu, aku sangat menyesali kenapa aku harus pergi bermain? Kenapa aku tidak tinggal saja berdama Ibu? Aku sangat menyesal.
8 tahun berlalu. Dan sejak saat itu, aku ingin sekali bertemu dengan Ibu. Walaupun hanya dalam mimpi, tapi aku tak pernah memimpikan Ibu. Aku ingin sekali bertemu dengannya. Kenapa aku tak bisa melihat Ibu lagi? Ya Alloh, aku ingin sekali bertemu dengan Ibu, walaupun hanya dalam mimpi. Aku sangat rindu padanya. Aku ingin sekali bertemu dengan Ibu. Aku kangen Ibu.
               

Selasa, 18 Desember 2012

Hati-Ku Hanya Untukmu Nak....



            Bicara tentang pengorbanan, mungkin sudah wajar jika seorang ibu sepertiku berkorban demi keselamatan anakku. Aku sangat menyayangi Aji anakku. Apapun berani ku korbankan asalkan Aji Bahagia. Ya, walaupun ku Juga harus mengorbankan sebagian kenikmatanku pada Aji.
            Cerita ini bermula saat usia Aji baru menginjak 7 tahun, ia seperti anak-anak pada umumnya. Bermain, merupakan rutinitas yang paling sering ia lakukan. Hingga suatu hari ia merengek kepadaku agar ku membelikannya mobil-mobilan yang harganya cukup mahal.
            “mah…. Aji pengen mobil yang itu!”
            “iya Aji nanti ya kalau mamah sudah punya uang”
            “Aji pengen sekarang !”
            “Tapi Ji, mamah sedang tidak punya Uang”
            “Gak mau tau, pokoknya Aji ingin mobil Itu” “bruukkkk preeeekkkk” suara pintu yang ditutup Aji dengan keras membuat Guci kesayangan ku pecah. Aku sudah tidak tau lagi harus berbuat apa. Sejak Suamiku pergi karena kecelakaan, aku selalu bermasalah dengan hal keuangan. Tak ada lagi orang yang selalu memberikan nafkah bagiku. Dan sejak kepergiannya, aku kini bekerja sebagai seorang buruh cuci dengan upah seadanya. Aku harus ekstra ketat mengawasi semua pengeluaran.
            Hari demi hari kujalani. Dan kini Aji sudah berusia 15 tahun. Permintaanya kini semakin aneh. Hingga suatu ketika ia datang padaku saat ku sedang mencuci baju milik bu RT.
            “maahh…. Liat tuh temen-temen Aji sudah pada punya HP”
            “ya nggak apa-apa donk, kan mereka punya uang”
            “tapi Aji juga ingin HP mah”
            “iya nanti kalau uang mamah sudah terkumpul”
            “ah bosan mah! Kata-kata itu saja yang keluar dari mulut mamah”
            “heh Aji jangan begitu gak baik”
            “emang iya kan, mamah ngomong nanti, nanti, nanti, tapi mana buktinya mah? Semua omongan mamah itu bohong!”
            “tapi Ji”
            “ah Sudah lah mamah emang gak bisa diandelin!”
            Hatiku merasa tersayat-sayat pisau berkarat. Perih sekali melihat anakku tidak bisa seperti anak yang lainnya, tapi aku harus berbuat apalagi, jika ku terus menuruti perkataan Aji, mungkin aku tak akan tahu bagaimana nanti kehidupan sehari-hari ku?
            Namun tiba-tiba, kepalaku mendadak pusing, mataku berkunang, apa yang tengah terjadi? Dalam hati ku bertanya. Aku sudah tak tahan lagi dan semuanya berubah menjadi gelap gulita.
            Saat ku membuka mataku, yang kulihat hanyalah langit-langit berwarna putih. Suasananya terasa damai. Sejenak aku dapat merasakan fikiranku beristirahat dari semua kesusahanku. Tapi semua berubah saat Aji masuk ke kamar.
            “maahh… Aji minta uang mah!”
            “uang buat apa Ji?”
            “ah udah jangan banyak tanya cepet Aji minta uang!”
            “tapi mamah lagi gak punya uang”
            “bohong !”
            Lalu ia langsung menggeledah lemari bajuku. Aku berusaha mencegahnya, namun apa daya dengan keadaan badanku yang lemas aku tak bisa mencegah Aji membawa uang sehari-hari ku. Kini uang untuk keperluan sehari-hariku sudah diambil Aji, aku tak tahu bagaimana nanti kebutuhanku.
            Hari selanjutnya suatu kejadian membuatku kembali meneteskan airmata. Aji masuk Rumah Sakit dan ia harus dirawat. Aku kurang begitu mengerti dengan apa yang terjadi pada Aji, tapi yang pasti ia harus dirawat dan harus segeramendapatkan donor hati. Aku sangat bingung. Siapa yang berbaik hati mendonorkan hatinya untuk anakku, sedangkan dokter terus mendesakku agar segera mendapatkan donor hati.
            “tapi bu, jika tidak sesegera mungkin, nyawa Aji akan terancam”
            “tapi dok…” airmataku mendahului keluar. Aku tidak tahu lagi harus berbuat apa…?
            “ya sudah dok donorkan Hati saya untuk Aji dok!”
            “tapi bagaimana dengan Ibu? Ini taruhannya nyawa bu, “
            “tapi saya lebih memilih Aji untuk hidup”
            “ya sudah jika itu sudah menjadi keputusan ibu, mari ikut saya untuk memeriksa hati ibu,”
            “baiklah dok” selanjutnya ku ikuti dokter untuk melakukan pengecekan pada hatiku
            Beberapa pemeriksaan telah ku jalani, kini tinggal ku menunggu apakah hatiku cocok dan baik untuk anakku atau tidak. Sejenak kulihat Aji terbaring lemah di pembaringan. Wajahnya membuatku teringat almarhum suamiku. Wajahnya yang dulu selalu kulihat ceria, kini harus terbaring karena kesakitan. Aku ingin Aji kembali pulih ya Allah, apapun syaratnya akan kutempuh. Ya Allah selamatkan Aji ya Allah.
            Lamunanku terbuyarkan ketika dokter datang.
            “dok bagaimana hasilnya?”
            “sebenarnya….” Perkataannya terhambat sesuatu.
            “sebenarnya apa dok katakan!”
            “sebenarnya hati ibu cocok jika harus didonorkan pada Aji, tapi hati Ibu mengandung Kolesterol yang banyak sehingga sia-sia saja jika ibu mendonorkan hati ibu”
            “tapi bagaimana dengan Aji dok?”
            “ya mungkin kita tinggal menghitung hari saja”
            “tidak mungkin dok, Aji harus selamat dok”
            “tapi bu hati Ibu …”
            “tapi dok saya mohon selamatkan anak saya” permohonanku disertai dengan berlinangnya air mata
            “sebenarnya masih ada cara agar bisa menyelamatkan anak ibu”
            “bagaimana dok?” mendengar perkataan dokter aku merasa mentari kembali bersinar di lubuk hatiku yang mendung karena kesedihan.
            “ibu harus berjalan sejauh 2000 km untuk menghilangkan kolesterol di hati ibu, sehingga hati ibu bisa didonorkan pada Aji”
            Mendengar perkataan itu, aku merasa kaget, bagaimana bisa aku harus berjalan sejauh 2000 km. “apa itu benar dok?”
            “ya, tapi itu tidakmungkin bu, ini akan membuat dehidrasi berlebihan pada ibu!”
            “tak ada yang tidak mungkin dok, selama itu akan membuat Aji kembali sembuh saya akan lakukan itu dok “
            “tapi bu…”
            Aku pun segera beranjak untuk melakukan intruksi dokter tersebut. Aku kana berjalan sejauh 2000 km agar Aji bisa selamat. Apapun itu pasti akan ku lakukan asalkan Aji dapat selamat dan kembali beraktivitas seperti biasanya. Ku pandangi sepatuku. Dengan sepatu ini, aku akan pergi berjalan sejauh 2000 km. ya Allah, semoga sepatu ini dapat menemani perjuanganku untuk Aji. Aku ingin Aji kembali sehat ya Allah, aku ingin dia bisa bermain seperti biasanya, aku ingin ia bergaul dengan teman-temannya lagi.
            Setelah ku kencangkan tali sepatuku, kulangsung memulai langkah untuk berjalan sejauh 2000 km dengan basmallah. Ya allah semoga ini akan menjadi suatu perjuangan yangtak sia sia. Aku ingin Aji kembali sehat ya Allah.
            Di tengah perjalanan, aku sudah merasakan pusing dan mual. Ya allah apakah ini cobaan lagi? Tapi dengan bayang-bayang tawa Aji, aku terus berjalan. Aku lawan semua rasa itu dengan rasa cintaku pada Aji. Aku yakin Aji akan selamat. Lalu rasa lemas juga menghampiriku. Kembali ku lawan semuanya dengan cintaku pada Aji. Tawanya bagaikan bensin yang akan membuat kobaran api semangatku semakin membara. Senyumannya bagaikan rasa sejuk yang seakan menghilangkan rasa panas dan gerah. Ya Allah. Aku ingin Aji selamat dan kembali tersenyum padaku.
            Langkah demi langkah telah ku tempuh, hari demi haripun telah ku lewati dan akhirnya 2000 km telah ku lalui. Aku dengan semangatnya segera berlari ke rumah sakit. Aku ingin segera mendonorkan hati ini pada Aji. Aji mamah datang nak. Mamah bawa hadiah untukmu. Setelah sampai aku langsung menemui dokter.
            “dok saya telah berjalan sejauh 2000 km, sekarang donorkan hati saya pada aji” kataku ngosngosan
            “apa? Ibu telah berjalan sejauh 2000 km?” tanyanya tak percaya
            “iya dok saya ingin segera memberikan ini pada Aji”
            “ya sudah mari ikut saya untuk memeriksakan hati ibu”
            Walaupun aku merasa lelah, aku pun menuruti perintah dokter, dan setelah di cek, ternyata benar,hatiku kini sudah bisa didonorkan pada Aji . Alhamdulilah ya Allah.
            “langsung saja dok lakukan oprasi pada Aji”
            “ibu yakin dengan semua ini?”
            “saya sudah siap dok!”
            “ya sudah mari ikut saya”
            Operasi pin segera kami lakukan namun sebelum operasi aku menyampaikan sesuatu pada dokter.
            “dok, apakah setelah saya mendonorkan hati ini, saya masih bisa melihat Aji dok?”
            “mungkin hanya beberapa jam saja bu, setelah itu, mungkin ibu telah tiada”
            “baiklah dok segera lakukan operasinya.” Kataku yakin, tapi sebenarnya, aku ragu apakah ini terakhir kalinya aku dapat melihat Aji, apakah ini terakhir kalinya aku dapat merasakan semangat karena tawa dan senyuman Aji? Tapi aku yakin Allah akan memberikan yang terbaik.
            Setelah kurasakan jarum suntuik telah menyalurkan obat bius pada tubuhku, mataku mulai terasa berat, tapi bayang-bayang Aji yang tertawa riang terus berkeliaran di fikiranku. Apaka ini yang terakhir? sampai akhirnya semua berubah menjadi gelap gulita.
            Kubuka mataku dengan berat. Terlihat langit-langit kamar ruang operasi begitu putih bersih. Ku lihat disebelah ranjangku, Aji terbaring lemah. Tapi sesuatu terasa mengganjal di bagian perut bawah bagian kanan, aku nerasakan sakit dibagian itu, mungkin ini bekas operasi fikirku.
            Hingga akhirnya ku lihat Aji tersadar dari tidurnya.
            “mah… mah..”
            “Aji kamu sudah sadar ji…?? Auuuhh… “ perkataanku terpotong rasa sakit pada perutku
            “Aji ada dimana mah?”
            “kamu sekarang sedang dirumah sakit,kamu kini telah sembuh dari penyakit kamu. Sekarang kamu bisa bermain lagi “ jawabku sambil menahan rasa sakit. Aku tak ingin Aji tau rasa Kesakitanku ini.
            “Ji, mamah pengen pegang tangan kamu”
            “iya mah “ sembari mengulurkan tangannya
            “mamah pesen, kamu harus jadi anak yang baik ya, jangan nakal”
            “iya mah “ terlihat air mata mengalir di pipi Aji
            “kamu juga harus rajin sekolah agar kamu jadi orang yang sukses”
            “iya mah iya…” katanya mempererat pegangan tangannya
            “sekarang mamah mau istirahat ya,kamu janji kamu harus jadi orang yang baik”
            Tangannya tak bisa terlepas. Kulihat airmatanya semakin deras. Aku juga tak bisa membendung air mataku. Kami berdua menangis. Tapi aku yakin ini memang yang terbaik untuk Aji.
            Hingga akhirnya sesuatu mulai terasa aneh di tubuhku. Mungkinkah ini rasanya dicabut nyawa? Aku merasa kakiku mulai mati rasa. Oh ya Allah, aku siap menghadapmu. tapi aku minta, tolong jaga Aji. Tolong jangan biarkan ia merasakan kesedihan. Aku ingin ia tetap bahagia. Aku ingin terus melihat ia tersenyum dan tertawa riang. Ya Allah jagalah anakku ini ya Allah. Amiin
            selamat tinggal nak....

Sabtu, 24 November 2012

Cerpen "Malaikat Kecilku" karya Yosan Ermawansyah


Malaikat Kecilku
            Dulu aku sangat mencintai istriku,aku rela mengorbankan apapun demi dia.tapi itu dulu. Dulu saat ia masih setia menemaniku hanya disaat ku masih merasa beruntung. Tapi semua berbeda saat sebuah musibah telah merenggut sebagian kenikmatanku.
            Semua berawal saat istriku melahirkan. Saat itu aku sangat berharap anakku lahir laki-laki, agar aku bisa mewariskan keahlianku dalam berlari dan aku ingin menjadikannya seorang atlet lari. Namun keadaan berkata lain saat seorang bayi perempuan terlahir dari rahim istriku. Aku tidak menerima hal itu. Kenapa Allah tidak mengabulkan doaku? Aku ingin anakku laki-laki, tapi kenapa engkau malah melahirkan seorang bayi perempuan. Hatiku sangat menyesal.
            Beberapa bulan kemudian, aku disuruh untuk menjaga bayiku itu. Tapi aku tidak mau, aku malah pergi dari rumah untuk menghindari itu semua. Namun, Allah memberikan kejutan untukku. Saat ku sedang asyik mengendarai mobil Avanza-ku, sebuah truk hampir menabrakku, aku menghindar dan aku malah menabrak sebuah pohon. Seketika duniaku berubah menjadi gelap.
            Aku tersadar saat aku sudah berada di rumah sakit. Ku lihat istriku sedang menggendong bayiku.itu membuatku geram, bahkan sangat marah pada bayiku. Ini semua karena ulah bayi itu! Aku tidak mungkin seperti ini jika ia tidak ada. Hatiku terus bergumal. Istriku datang bersama bayiku. Ku lihat bayi itu tertawa gembira saat ia melihatku. Tawanya begitu lucu, tapi seketika aku beranggapan bahwa dia senang melihatku seperti ini.
            “bawa pergi bayi itu! “
            “maksud papa apa?” tanya istriku
            “ia bayi sial! Ia yang menyebabkan aku seperti ini!”
            “astagfirulloh… sadar pa, ini anakmu!”
            “tidak!” saat ku akan beranjak berdiri dari kasurku,aku merasakan sesuatu yang berbeda dari diriku. Dimana kakiku? Aku tidak dapat merasakan kakiku. Apa yang terjadi padaku? Dimana kakiku? Kenapa semua jadi seperti ini?
            “kata dokter, tadi kaki papa terjepit dan membuat syaraf di kaki papa lumpuh total” istriku terharu tak percaya
            “apa?? “ aku tidak menyangka… sekarang aku tidak bisa berjalan. Aku tidak bisa lagi bekerja, aku tidak bisa lagi berjalan, aku tidak bisa melakukan apapun! Aku sangat frustasi. Kenapa harus seperti ini. Kenapa Allah memberikan ini padaku?.
            Beberapa tahunpun berlalu. Aku hanya bisa diam di tempat tidur. aku tidak bisa bekerja, aku tidak bisa menafkahi keluargaku. Aku tak bisa lagi melakukan apa-apa.   Hingga akhirnya istriku menjual semua barang barang elektronik berikut mobilku. Aku sangat malu pada istriku. Aku tidak bisa lagi menjadi suami yang ia harapkan.
            “pa… pa…. ma… kan…” kulihat bayiku yang kini sudah dapat berjalan membawakan makanan untukku. Walaupun dengan langkah yang masih ragu serta nampan yang cukup berat, ia berusaha membawakannya untukku.
            “pa… pa… ma.. kan…” ulangnya terbata-bata
            Aku masih kesal. Karenanya aku jadi seperti ini. Karenanya aku tak dapat lagi berjalan. Aku tidak menghiraukannya walaupun ia menggoyang-goyangkan tubuhku sebagai tanda agar aku bangun.
            “Pa… pa…” tak sempat ia menyelesaikan kata-katanya, suara mobil berhenti di depan rumah membuatnya menghampirinya.
            Ternyata itu istriku, tapi aku sangat terkejut ketika kulihat ia keluar bersama seorang laki-laki dan parahnya ia juga menciumnya. Aku sangat kecewa. Kenapa istriku melakukan itu? Kenapa?
            Saat ia datang aku sangat kecewa padanya.
            “kenapa mama melakukan itu?”
            “maksud papa?” tanya istriku pura-pura tidak tahu.
            “kenapa mama melakukan hal yang tidak pantas dengan laki-laki lain? Kenapa ma?”
            “pa.. mamah cape dengan semuanya. Papa kini sudah tak bisa apa-apa, papa sudah tidak bisa menafkahi mama. Mama …. Mama minta cerai”
            Seketika kata-kata itu bagaikan sebuah pisau berkarat yang mengiris-iris hatiku. Kenapa istriku berubah?
            Ia pun pergi dengan laki-laki itu. Beribu kesal, amarah, dan kecewa bercampur menjadi satu. Ku lihat anakku juga tak dibawanya. Ia juga menangis di depan jendela melihat ibunya pergi dengan laki-laki lain. Aku ingin memeluknya dan berkata untuk tidak menangisi seorang ibu yang tega meninggalkan anaknya. Tapi itu mungkin hanya angan angan saja aku tidak bisa merangkul dan memeluknya.
            Keesokan harinya aku terbangunkan oleh suara anakku
            “pa.. pa..” katanya terbata-bata
            “pa… ma.. kan…”
            Ku lihat ia membawakan makanan untukku. Terlihat ia sangat bekerja keras membawakan makanan untukku. Aku sebenarnya tidak tega melihat anakku yang baru bisa berjalan melakukan hal seperti itu. Tapi apalah daya aku tak bisa berbuat apa-apa.
            Ia juga menyuapiku makan, ya Allah,kenapa dulu aku tak mau mengakuinya? Kenapa aku tidak mau menerimanya? Padahal ia begitu berbakti padaku.
            Saat siang, kudengar suara gaduh di dapur. Aku khawatir sesuatu terjadi pada anakku. Tapi betapa kuatnya anakku walaupun dia seorang perempuan. Dia membawakanku seember air.
            “pa… pa… ba.. u… ga… man… di… “
            Aku sangat terharu melihat anakku melakukan hal yang tak biasa dilakukan anak seumurannya. Dengan lembut ia mengelap tubuhku dengan handuk basah untuk membersihkanku. Tetes demi tetes air mata terurai di pipi. Aku sangat merasa bersalah. Kenapa dulu aku tak mau menerimanya. Padahal ia begitu hebat.
            Hari demi hari ia lakukan seperti itu, setiap pagi ia membawakanku makanan walaupun hanya sepiring nasi tanpa apapun. Aku tidak menyangka anak seusianya dapat memasak nasi dan air. Aku juga tak menyangka ia mampu merapihkan rumah sendirian. Apakah dia malaikat yang diutus Allah untuk menjagaku?.
            Hingga suatu hari ia membawakanku seember air. Namun, entah kenapa saat ia akan masuk ke kamar, “bbrrruukkk” ia terjatuh dan air membasahi seluruh tubuhnya. Aku khawatir. Aku takut ia menangis. Tapi ternyata ia malah tertawa riang saat ia lihat aku melihatnya. Tawanya seakan membuatku damai. Walaupun begitu ia tetap tertawa. Ya Allah maafkan aku ya Allah dulu aku sempat menyia-nyiakannya.
            Keesokan paginya, aku merasa heran. Kemana anakku? Tak biasanya ia belum bangun. Aku khawatir sesuatu terjadi padanya. Aku mencoba turun dari tempat tidur untuk memastikan anakku tak apa-apa. walau ku harus ngesot, aku tetap mencoba menghampiri kamarnya. Namun, saat ku buka pintu kamarnya, ku lihat ia terbaring lemah di lantai. Aku panik. Kenapa anakku? Apa yang terjadi padanya? Kuraba keningnya, dan ternyata panas. Tampakmya ia terkena demam. Mungkin karena ia kemarin terguyur air yang tumpah. Saat itu aku bingung harus berbuat apa. dengan susah payah ku gendong dia. Kulihat ada sebuah kursi roda didepan rumah. Aku tak tau itu milik siapa. Langsung saja ku pakai untuk mengantarkan anakku ke rumah sakit.
            Aku mengayuh kursi roda dengan susah payah, walau rasa sakit pada lenganku terus menyerang, aku tetap mengayuhnya. Aku tak menghiraukan rasa sakit ini. Hingga akhirnya ku sampai di rumah sakit. Sang suster sigap menangani anakku. Aku sangat khawatir. Aku takut ia… ah… semoga Allah menyelamatkannya.
            Aku menunggu di kursi sambil memperhatikan tanganku yang memar. Tanganku memang sakit. Tapi aku tak ingin rasa sakit ini membuat ku lemah. Aku ingin menunjukan bahwa aku bisa bertahan. Teringat saat anakku membawakan seember air dan tumpah menyiramnya. Tapi ia malah tertawa riang. Tawanya yang membuat aku semangat. Aku ingin mendengar tawanya lagi.
            Kedatangan sang dokter membuyarkan lamunanku
            “bagaimana keadaan anak saya dok?”
            “anak anda… sebelumnya kami mohon maaf.mungkin ini sudah takdir Allah.”
            “maksudnya dok?”
            “anak anda telah kembali ke sisi-Nya. Ia terkena demam tinggi dan membuatnya tak mampu bertahan.”
            Kata-kata itu bagai samurai yang menghujam hatiku. Aku tak percaya satu-satunya malaikat yang ku punya, malaikat yang menjagaku selama ini harus meninggalkanku. Aku tak mampu menahan air mata untuk berlinang. Ya Allah kenapa kau ambil dia ? kenapa kau harus memisahkanku dari dia? Aku sangat terpukul atas kepergiannya. Aku ingin ia tetap disini menjagaku.
            Ya Allah kembalikan ia …. Aku tak rela bila ia harus pergi dalam usia yang sangat muda. Tapi jika itu merupakan jalan yang terbaik aku ingin engkau dapat menjaga anakku dan dapat mempertemukanku disurga nanti.