Halaman

Rabu, 26 Desember 2012

Musim Gugur di Senja Hari



                Penyesalan, ya mungkin itulah yang mengelayuti hatiku selama 8 tahun ini. Bagaimana tidak, kehilangan seseorang yang aku sayangi, tapi ku tak asa di sampingnya saat ia menghembuskan nafas terakhirnya.        
                Ini bermula saat ku duduk di kelas 1 SD, saat itu Ibu terlihat sehat-sehat saja. Tak ada tanda-tanda yang menunjukan kalau dia sedang sakit. Saat itu bertepatan dengan pembagian rapt ku di sekolah. Tapi sayangnya, Bapak dan Ibu tidak bisa datang ke seklah untuk mengambil raporku karena Bapak mengantar Ibu ke rumah sakit karena akhir-akhir ini Ibu sering sekali pingsan. Sebenarnya aku iri melihat teman-temanku diantar leh orang tuanya untuk mengambil rapot, tapi apa boleh buat, Bapak dan Ibu berhalangan hadir. Tapi itu tergantikan dengan rasa banggaku ketika ternyata aku mendapat rangking pertama di kelasku. Aku sangat bangga. Aku akan menghadiahkan ini pada Ibuku, kataku dalam hati.
                “assalamualaikum..” salamku saat ku masuk rumah, tapi tak ada yang menjawab
                “bu, pak,…” teriakku namun tetap takk ada yang menjawab.
                Aku beranjak ke kamar Ibu, tapi ternyata tak ada siapapun, aku hanya melihat baju Ibu berantakan dan lemarinya pun terbuka, akupun beranjak keluar, dan ku lihat paman.
                “paman, lihat Ibu tidak?”
                “paman lihat tadi ke rumah sakit, lalu bapakmu datang lalu pergi lagi ke rumah sakit, tampaknya ia sangat terburu-buru”
                Mendengar pernyataan itu aku sangat kaget, hatiku bak disayat pisau berkarat. Aku menangis sendiri di rumah.
                Sorenya, bapak pulang,
                “Ibu mana pak?”
                “Ibumu di rawat”
                “memangnya Ibu kenapa pak?”
                “sudahlah, jangan banyak tanya, bapak mau ke rumah sakit lagi, sekarang kamu jagain rumah!”
                “Tapi pak, Aji pengen ikut!”
                “sudahlah kamu jaga rumah saja”
                Mendengar seperti itu, aku menangis. Akhirnya aku diajak bapak ke rumah sakit karena melihatku seperti itu.
                Sesampainya di rumah sakirt, aku bertanya pada dokter disana. Betapa kagetnya aku saat ku tahu ternyata Ibu terkena kanker payudara stadium 4. Aku sangat sedih, kenapa ini harus terjadi pada Ibu. Aku menangis sendiri. Ku lihat Ibu terbaring emah di tempat tidur. Dan sejak saat itulah aku tak bisa lagi memeluk Ibu.
                Karena keadaan ekonomi keluargaku yang bisa dibilang kurang, akhirnya bapak memutuskan untuk merawat Ibu dirumah. Dan sejak saat itu kami hanya bisa mengobati Ibu seadanya.
                Hari berganti hari, bulan berganti bulan, dan akhirnya genap 2 tahun Ibu menahan pahit getirnya mengidap penyakit kanker payudara stadium 4. Betapa tangguhnya Ibu saat dokter mengetahui bahwa Ibu dapat menahan penyakit kanker payudara stadium 4 ini selama ini. Aku juga tidak menyangka Ibu sekuat itu. Aku bangga pada Ibu.
                Hingga suatu ketika, Ibu memanggilku,
                “Ji, Aji, kesini nak”
                “iya bu?”
                “pijitin kaki Ibu ya!...”
                “iya bu..” kataku menurut
                “Ji, kamu temenin Ibu ya disini”
                “iya bu..”
                “Ibu ingin istirahat, tapi Aji jangan pergi kemana-mana”
                “iya bu”.. aku pun melanjutkan memijit Ibu, hingga ku lihat Ibu mulai mengantuk dan tertidur.
                Melihat keadaan seperti itu, aku pun keluar untuk bermain
                “kak, aku pergi main dulu ya”
                “iya, tapi jangan jauh-jauh” pesan kakakku
                Akupun pergi ke lapang untuk bermain bola bersama teman-temanku, namun baru saja kami melakukan pembagian tim, bibiku sudah mengajakku untuk pulang.
                “ada apa bi?” tanyaku penasaran
                “Ibu, Ibumu…. Ibumu Ji….” Bersamaaan dengan isak tangis
                Ibu kenapa bi?” tanyaku penasaran
                “Ibu…. Ibumu meninggal Ji”.. mendengar jawaban bibi, hatiku bagaikan ditebas pedang berkarat yang tiada tara perihnya. Dan seketika, dunia menjadi gelap.
                Saat ku terbangun, kulihat langit-langit rumah yang putih seakan menenangkan hati, namun, aku beranjak saat ku ingat Ibu.
                “Ibu… Ibu… Ibu dimana bi..?”
                “Ibumu telah dimakamkan Ji”
                Aku langsung menangis, aku tak kuasa mendengar hal itu. Apakah ini benar? Apakah Ibu benar-benar meninggal? Hatiku bertanya-tanya.
                Dan sejak saat itu, aku sangat menyesali kenapa aku harus pergi bermain? Kenapa aku tidak tinggal saja berdama Ibu? Aku sangat menyesal.
8 tahun berlalu. Dan sejak saat itu, aku ingin sekali bertemu dengan Ibu. Walaupun hanya dalam mimpi, tapi aku tak pernah memimpikan Ibu. Aku ingin sekali bertemu dengannya. Kenapa aku tak bisa melihat Ibu lagi? Ya Alloh, aku ingin sekali bertemu dengan Ibu, walaupun hanya dalam mimpi. Aku sangat rindu padanya. Aku ingin sekali bertemu dengan Ibu. Aku kangen Ibu.
               

Tidak ada komentar:

Posting Komentar