Halaman

Selasa, 18 Desember 2012

Hati-Ku Hanya Untukmu Nak....



            Bicara tentang pengorbanan, mungkin sudah wajar jika seorang ibu sepertiku berkorban demi keselamatan anakku. Aku sangat menyayangi Aji anakku. Apapun berani ku korbankan asalkan Aji Bahagia. Ya, walaupun ku Juga harus mengorbankan sebagian kenikmatanku pada Aji.
            Cerita ini bermula saat usia Aji baru menginjak 7 tahun, ia seperti anak-anak pada umumnya. Bermain, merupakan rutinitas yang paling sering ia lakukan. Hingga suatu hari ia merengek kepadaku agar ku membelikannya mobil-mobilan yang harganya cukup mahal.
            “mah…. Aji pengen mobil yang itu!”
            “iya Aji nanti ya kalau mamah sudah punya uang”
            “Aji pengen sekarang !”
            “Tapi Ji, mamah sedang tidak punya Uang”
            “Gak mau tau, pokoknya Aji ingin mobil Itu” “bruukkkk preeeekkkk” suara pintu yang ditutup Aji dengan keras membuat Guci kesayangan ku pecah. Aku sudah tidak tau lagi harus berbuat apa. Sejak Suamiku pergi karena kecelakaan, aku selalu bermasalah dengan hal keuangan. Tak ada lagi orang yang selalu memberikan nafkah bagiku. Dan sejak kepergiannya, aku kini bekerja sebagai seorang buruh cuci dengan upah seadanya. Aku harus ekstra ketat mengawasi semua pengeluaran.
            Hari demi hari kujalani. Dan kini Aji sudah berusia 15 tahun. Permintaanya kini semakin aneh. Hingga suatu ketika ia datang padaku saat ku sedang mencuci baju milik bu RT.
            “maahh…. Liat tuh temen-temen Aji sudah pada punya HP”
            “ya nggak apa-apa donk, kan mereka punya uang”
            “tapi Aji juga ingin HP mah”
            “iya nanti kalau uang mamah sudah terkumpul”
            “ah bosan mah! Kata-kata itu saja yang keluar dari mulut mamah”
            “heh Aji jangan begitu gak baik”
            “emang iya kan, mamah ngomong nanti, nanti, nanti, tapi mana buktinya mah? Semua omongan mamah itu bohong!”
            “tapi Ji”
            “ah Sudah lah mamah emang gak bisa diandelin!”
            Hatiku merasa tersayat-sayat pisau berkarat. Perih sekali melihat anakku tidak bisa seperti anak yang lainnya, tapi aku harus berbuat apalagi, jika ku terus menuruti perkataan Aji, mungkin aku tak akan tahu bagaimana nanti kehidupan sehari-hari ku?
            Namun tiba-tiba, kepalaku mendadak pusing, mataku berkunang, apa yang tengah terjadi? Dalam hati ku bertanya. Aku sudah tak tahan lagi dan semuanya berubah menjadi gelap gulita.
            Saat ku membuka mataku, yang kulihat hanyalah langit-langit berwarna putih. Suasananya terasa damai. Sejenak aku dapat merasakan fikiranku beristirahat dari semua kesusahanku. Tapi semua berubah saat Aji masuk ke kamar.
            “maahh… Aji minta uang mah!”
            “uang buat apa Ji?”
            “ah udah jangan banyak tanya cepet Aji minta uang!”
            “tapi mamah lagi gak punya uang”
            “bohong !”
            Lalu ia langsung menggeledah lemari bajuku. Aku berusaha mencegahnya, namun apa daya dengan keadaan badanku yang lemas aku tak bisa mencegah Aji membawa uang sehari-hari ku. Kini uang untuk keperluan sehari-hariku sudah diambil Aji, aku tak tahu bagaimana nanti kebutuhanku.
            Hari selanjutnya suatu kejadian membuatku kembali meneteskan airmata. Aji masuk Rumah Sakit dan ia harus dirawat. Aku kurang begitu mengerti dengan apa yang terjadi pada Aji, tapi yang pasti ia harus dirawat dan harus segeramendapatkan donor hati. Aku sangat bingung. Siapa yang berbaik hati mendonorkan hatinya untuk anakku, sedangkan dokter terus mendesakku agar segera mendapatkan donor hati.
            “tapi bu, jika tidak sesegera mungkin, nyawa Aji akan terancam”
            “tapi dok…” airmataku mendahului keluar. Aku tidak tahu lagi harus berbuat apa…?
            “ya sudah dok donorkan Hati saya untuk Aji dok!”
            “tapi bagaimana dengan Ibu? Ini taruhannya nyawa bu, “
            “tapi saya lebih memilih Aji untuk hidup”
            “ya sudah jika itu sudah menjadi keputusan ibu, mari ikut saya untuk memeriksa hati ibu,”
            “baiklah dok” selanjutnya ku ikuti dokter untuk melakukan pengecekan pada hatiku
            Beberapa pemeriksaan telah ku jalani, kini tinggal ku menunggu apakah hatiku cocok dan baik untuk anakku atau tidak. Sejenak kulihat Aji terbaring lemah di pembaringan. Wajahnya membuatku teringat almarhum suamiku. Wajahnya yang dulu selalu kulihat ceria, kini harus terbaring karena kesakitan. Aku ingin Aji kembali pulih ya Allah, apapun syaratnya akan kutempuh. Ya Allah selamatkan Aji ya Allah.
            Lamunanku terbuyarkan ketika dokter datang.
            “dok bagaimana hasilnya?”
            “sebenarnya….” Perkataannya terhambat sesuatu.
            “sebenarnya apa dok katakan!”
            “sebenarnya hati ibu cocok jika harus didonorkan pada Aji, tapi hati Ibu mengandung Kolesterol yang banyak sehingga sia-sia saja jika ibu mendonorkan hati ibu”
            “tapi bagaimana dengan Aji dok?”
            “ya mungkin kita tinggal menghitung hari saja”
            “tidak mungkin dok, Aji harus selamat dok”
            “tapi bu hati Ibu …”
            “tapi dok saya mohon selamatkan anak saya” permohonanku disertai dengan berlinangnya air mata
            “sebenarnya masih ada cara agar bisa menyelamatkan anak ibu”
            “bagaimana dok?” mendengar perkataan dokter aku merasa mentari kembali bersinar di lubuk hatiku yang mendung karena kesedihan.
            “ibu harus berjalan sejauh 2000 km untuk menghilangkan kolesterol di hati ibu, sehingga hati ibu bisa didonorkan pada Aji”
            Mendengar perkataan itu, aku merasa kaget, bagaimana bisa aku harus berjalan sejauh 2000 km. “apa itu benar dok?”
            “ya, tapi itu tidakmungkin bu, ini akan membuat dehidrasi berlebihan pada ibu!”
            “tak ada yang tidak mungkin dok, selama itu akan membuat Aji kembali sembuh saya akan lakukan itu dok “
            “tapi bu…”
            Aku pun segera beranjak untuk melakukan intruksi dokter tersebut. Aku kana berjalan sejauh 2000 km agar Aji bisa selamat. Apapun itu pasti akan ku lakukan asalkan Aji dapat selamat dan kembali beraktivitas seperti biasanya. Ku pandangi sepatuku. Dengan sepatu ini, aku akan pergi berjalan sejauh 2000 km. ya Allah, semoga sepatu ini dapat menemani perjuanganku untuk Aji. Aku ingin Aji kembali sehat ya Allah, aku ingin dia bisa bermain seperti biasanya, aku ingin ia bergaul dengan teman-temannya lagi.
            Setelah ku kencangkan tali sepatuku, kulangsung memulai langkah untuk berjalan sejauh 2000 km dengan basmallah. Ya allah semoga ini akan menjadi suatu perjuangan yangtak sia sia. Aku ingin Aji kembali sehat ya Allah.
            Di tengah perjalanan, aku sudah merasakan pusing dan mual. Ya allah apakah ini cobaan lagi? Tapi dengan bayang-bayang tawa Aji, aku terus berjalan. Aku lawan semua rasa itu dengan rasa cintaku pada Aji. Aku yakin Aji akan selamat. Lalu rasa lemas juga menghampiriku. Kembali ku lawan semuanya dengan cintaku pada Aji. Tawanya bagaikan bensin yang akan membuat kobaran api semangatku semakin membara. Senyumannya bagaikan rasa sejuk yang seakan menghilangkan rasa panas dan gerah. Ya Allah. Aku ingin Aji selamat dan kembali tersenyum padaku.
            Langkah demi langkah telah ku tempuh, hari demi haripun telah ku lewati dan akhirnya 2000 km telah ku lalui. Aku dengan semangatnya segera berlari ke rumah sakit. Aku ingin segera mendonorkan hati ini pada Aji. Aji mamah datang nak. Mamah bawa hadiah untukmu. Setelah sampai aku langsung menemui dokter.
            “dok saya telah berjalan sejauh 2000 km, sekarang donorkan hati saya pada aji” kataku ngosngosan
            “apa? Ibu telah berjalan sejauh 2000 km?” tanyanya tak percaya
            “iya dok saya ingin segera memberikan ini pada Aji”
            “ya sudah mari ikut saya untuk memeriksakan hati ibu”
            Walaupun aku merasa lelah, aku pun menuruti perintah dokter, dan setelah di cek, ternyata benar,hatiku kini sudah bisa didonorkan pada Aji . Alhamdulilah ya Allah.
            “langsung saja dok lakukan oprasi pada Aji”
            “ibu yakin dengan semua ini?”
            “saya sudah siap dok!”
            “ya sudah mari ikut saya”
            Operasi pin segera kami lakukan namun sebelum operasi aku menyampaikan sesuatu pada dokter.
            “dok, apakah setelah saya mendonorkan hati ini, saya masih bisa melihat Aji dok?”
            “mungkin hanya beberapa jam saja bu, setelah itu, mungkin ibu telah tiada”
            “baiklah dok segera lakukan operasinya.” Kataku yakin, tapi sebenarnya, aku ragu apakah ini terakhir kalinya aku dapat melihat Aji, apakah ini terakhir kalinya aku dapat merasakan semangat karena tawa dan senyuman Aji? Tapi aku yakin Allah akan memberikan yang terbaik.
            Setelah kurasakan jarum suntuik telah menyalurkan obat bius pada tubuhku, mataku mulai terasa berat, tapi bayang-bayang Aji yang tertawa riang terus berkeliaran di fikiranku. Apaka ini yang terakhir? sampai akhirnya semua berubah menjadi gelap gulita.
            Kubuka mataku dengan berat. Terlihat langit-langit kamar ruang operasi begitu putih bersih. Ku lihat disebelah ranjangku, Aji terbaring lemah. Tapi sesuatu terasa mengganjal di bagian perut bawah bagian kanan, aku nerasakan sakit dibagian itu, mungkin ini bekas operasi fikirku.
            Hingga akhirnya ku lihat Aji tersadar dari tidurnya.
            “mah… mah..”
            “Aji kamu sudah sadar ji…?? Auuuhh… “ perkataanku terpotong rasa sakit pada perutku
            “Aji ada dimana mah?”
            “kamu sekarang sedang dirumah sakit,kamu kini telah sembuh dari penyakit kamu. Sekarang kamu bisa bermain lagi “ jawabku sambil menahan rasa sakit. Aku tak ingin Aji tau rasa Kesakitanku ini.
            “Ji, mamah pengen pegang tangan kamu”
            “iya mah “ sembari mengulurkan tangannya
            “mamah pesen, kamu harus jadi anak yang baik ya, jangan nakal”
            “iya mah “ terlihat air mata mengalir di pipi Aji
            “kamu juga harus rajin sekolah agar kamu jadi orang yang sukses”
            “iya mah iya…” katanya mempererat pegangan tangannya
            “sekarang mamah mau istirahat ya,kamu janji kamu harus jadi orang yang baik”
            Tangannya tak bisa terlepas. Kulihat airmatanya semakin deras. Aku juga tak bisa membendung air mataku. Kami berdua menangis. Tapi aku yakin ini memang yang terbaik untuk Aji.
            Hingga akhirnya sesuatu mulai terasa aneh di tubuhku. Mungkinkah ini rasanya dicabut nyawa? Aku merasa kakiku mulai mati rasa. Oh ya Allah, aku siap menghadapmu. tapi aku minta, tolong jaga Aji. Tolong jangan biarkan ia merasakan kesedihan. Aku ingin ia tetap bahagia. Aku ingin terus melihat ia tersenyum dan tertawa riang. Ya Allah jagalah anakku ini ya Allah. Amiin
            selamat tinggal nak....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar