Bicara tentang pengorbanan, mungkin
sudah wajar jika seorang ibu sepertiku berkorban demi keselamatan anakku. Aku
sangat menyayangi Aji anakku. Apapun berani ku korbankan asalkan Aji Bahagia.
Ya, walaupun ku Juga harus mengorbankan sebagian kenikmatanku pada Aji.
Cerita ini bermula saat usia Aji
baru menginjak 7 tahun, ia seperti anak-anak pada umumnya. Bermain, merupakan
rutinitas yang paling sering ia lakukan. Hingga suatu hari ia merengek kepadaku
agar ku membelikannya mobil-mobilan yang harganya cukup mahal.
“mah…. Aji pengen mobil yang itu!”
“iya Aji nanti ya kalau mamah sudah
punya uang”
“Aji pengen sekarang !”
“Tapi Ji, mamah sedang tidak punya
Uang”
“Gak mau tau, pokoknya Aji ingin
mobil Itu” “bruukkkk preeeekkkk” suara pintu yang ditutup Aji dengan keras
membuat Guci kesayangan ku pecah. Aku sudah tidak tau lagi harus berbuat apa.
Sejak Suamiku pergi karena kecelakaan, aku selalu bermasalah dengan hal
keuangan. Tak ada lagi orang yang selalu memberikan nafkah bagiku. Dan sejak
kepergiannya, aku kini bekerja sebagai seorang buruh cuci dengan upah seadanya.
Aku harus ekstra ketat mengawasi semua pengeluaran.
Hari demi hari kujalani. Dan kini
Aji sudah berusia 15 tahun. Permintaanya kini semakin aneh. Hingga suatu ketika
ia datang padaku saat ku sedang mencuci baju milik bu RT.
“maahh…. Liat tuh temen-temen Aji
sudah pada punya HP”
“ya nggak apa-apa donk, kan mereka
punya uang”
“tapi Aji juga ingin HP mah”
“iya nanti kalau uang mamah sudah
terkumpul”
“ah bosan mah! Kata-kata itu saja
yang keluar dari mulut mamah”
“heh Aji jangan begitu gak baik”
“emang iya kan, mamah ngomong nanti,
nanti, nanti, tapi mana buktinya mah? Semua omongan mamah itu bohong!”
“tapi Ji”
“ah Sudah lah mamah emang gak bisa
diandelin!”
Hatiku merasa tersayat-sayat pisau
berkarat. Perih sekali melihat anakku tidak bisa seperti anak yang lainnya,
tapi aku harus berbuat apalagi, jika ku terus menuruti perkataan Aji, mungkin
aku tak akan tahu bagaimana nanti kehidupan sehari-hari ku?
Namun tiba-tiba, kepalaku mendadak
pusing, mataku berkunang, apa yang tengah terjadi? Dalam hati ku bertanya. Aku
sudah tak tahan lagi dan semuanya berubah menjadi gelap gulita.
Saat ku membuka mataku, yang kulihat
hanyalah langit-langit berwarna putih. Suasananya terasa damai. Sejenak aku
dapat merasakan fikiranku beristirahat dari semua kesusahanku. Tapi semua
berubah saat Aji masuk ke kamar.
“maahh… Aji minta uang mah!”
“uang buat apa Ji?”
“ah udah jangan banyak tanya cepet
Aji minta uang!”
“tapi mamah lagi gak punya uang”
“bohong !”
Lalu ia langsung menggeledah lemari
bajuku. Aku berusaha mencegahnya, namun apa daya dengan keadaan badanku yang
lemas aku tak bisa mencegah Aji membawa uang sehari-hari ku. Kini uang untuk
keperluan sehari-hariku sudah diambil Aji, aku tak tahu bagaimana nanti
kebutuhanku.
Hari selanjutnya suatu kejadian
membuatku kembali meneteskan airmata. Aji masuk Rumah Sakit dan ia harus
dirawat. Aku kurang begitu mengerti dengan apa yang terjadi pada Aji, tapi yang
pasti ia harus dirawat dan harus segeramendapatkan donor hati. Aku sangat
bingung. Siapa yang berbaik hati mendonorkan hatinya untuk anakku, sedangkan
dokter terus mendesakku agar segera mendapatkan donor hati.
“tapi bu, jika tidak sesegera
mungkin, nyawa Aji akan terancam”
“tapi dok…” airmataku mendahului
keluar. Aku tidak tahu lagi harus berbuat apa…?
“ya sudah dok donorkan Hati saya
untuk Aji dok!”
“tapi bagaimana dengan Ibu? Ini
taruhannya nyawa bu, “
“tapi saya lebih memilih Aji untuk
hidup”
“ya sudah jika itu sudah menjadi
keputusan ibu, mari ikut saya untuk memeriksa hati ibu,”
“baiklah dok” selanjutnya ku ikuti
dokter untuk melakukan pengecekan pada hatiku
Beberapa pemeriksaan telah ku
jalani, kini tinggal ku menunggu apakah hatiku cocok dan baik untuk anakku atau
tidak. Sejenak kulihat Aji terbaring lemah di pembaringan. Wajahnya membuatku
teringat almarhum suamiku. Wajahnya yang dulu selalu kulihat ceria, kini harus
terbaring karena kesakitan. Aku ingin Aji kembali pulih ya Allah, apapun
syaratnya akan kutempuh. Ya Allah selamatkan Aji ya Allah.
Lamunanku terbuyarkan ketika dokter
datang.
“dok bagaimana hasilnya?”
“sebenarnya….” Perkataannya
terhambat sesuatu.
“sebenarnya apa dok katakan!”
“sebenarnya hati ibu cocok jika
harus didonorkan pada Aji, tapi hati Ibu mengandung Kolesterol yang banyak
sehingga sia-sia saja jika ibu mendonorkan hati ibu”
“tapi bagaimana dengan Aji dok?”
“ya mungkin kita tinggal menghitung
hari saja”
“tidak mungkin dok, Aji harus
selamat dok”
“tapi bu hati Ibu …”
“tapi dok saya mohon selamatkan anak
saya” permohonanku disertai dengan berlinangnya air mata
“sebenarnya masih ada cara agar bisa
menyelamatkan anak ibu”
“bagaimana dok?” mendengar perkataan
dokter aku merasa mentari kembali bersinar di lubuk hatiku yang mendung karena
kesedihan.
“ibu harus berjalan sejauh 2000 km
untuk menghilangkan kolesterol di hati ibu, sehingga hati ibu bisa didonorkan
pada Aji”
Mendengar perkataan itu, aku merasa
kaget, bagaimana bisa aku harus berjalan sejauh 2000 km. “apa itu benar dok?”
“ya, tapi itu tidakmungkin bu, ini
akan membuat dehidrasi berlebihan pada ibu!”
“tak ada yang tidak mungkin dok,
selama itu akan membuat Aji kembali sembuh saya akan lakukan itu dok “
“tapi bu…”
Aku pun segera beranjak untuk
melakukan intruksi dokter tersebut. Aku kana berjalan sejauh 2000 km agar Aji
bisa selamat. Apapun itu pasti akan ku lakukan asalkan Aji dapat selamat dan
kembali beraktivitas seperti biasanya. Ku pandangi sepatuku. Dengan sepatu ini,
aku akan pergi berjalan sejauh 2000 km. ya Allah, semoga sepatu ini dapat
menemani perjuanganku untuk Aji. Aku ingin Aji kembali sehat ya Allah, aku
ingin dia bisa bermain seperti biasanya, aku ingin ia bergaul dengan
teman-temannya lagi.
Setelah ku kencangkan tali sepatuku,
kulangsung memulai langkah untuk berjalan sejauh 2000 km dengan basmallah. Ya
allah semoga ini akan menjadi suatu perjuangan yangtak sia sia. Aku ingin Aji
kembali sehat ya Allah.
Di tengah perjalanan, aku sudah
merasakan pusing dan mual. Ya allah apakah ini cobaan lagi? Tapi dengan
bayang-bayang tawa Aji, aku terus berjalan. Aku lawan semua rasa itu dengan
rasa cintaku pada Aji. Aku yakin Aji akan selamat. Lalu rasa lemas juga
menghampiriku. Kembali ku lawan semuanya dengan cintaku pada Aji. Tawanya
bagaikan bensin yang akan membuat kobaran api semangatku semakin membara.
Senyumannya bagaikan rasa sejuk yang seakan menghilangkan rasa panas dan gerah.
Ya Allah. Aku ingin Aji selamat dan kembali tersenyum padaku.
Langkah demi langkah telah ku
tempuh, hari demi haripun telah ku lewati dan akhirnya 2000 km telah ku lalui.
Aku dengan semangatnya segera berlari ke rumah sakit. Aku ingin segera
mendonorkan hati ini pada Aji. Aji mamah datang nak. Mamah bawa hadiah untukmu.
Setelah sampai aku langsung menemui dokter.
“dok saya telah berjalan sejauh 2000
km, sekarang donorkan hati saya pada aji” kataku ngosngosan
“apa? Ibu telah berjalan sejauh 2000
km?” tanyanya tak percaya
“iya dok saya ingin segera
memberikan ini pada Aji”
“ya sudah mari ikut saya untuk
memeriksakan hati ibu”
Walaupun aku merasa lelah, aku pun
menuruti perintah dokter, dan setelah di cek, ternyata benar,hatiku kini sudah
bisa didonorkan pada Aji . Alhamdulilah ya Allah.
“langsung saja dok lakukan oprasi
pada Aji”
“ibu yakin dengan semua ini?”
“saya sudah siap dok!”
“ya sudah mari ikut saya”
Operasi pin segera kami lakukan
namun sebelum operasi aku menyampaikan sesuatu pada dokter.
“dok, apakah setelah saya
mendonorkan hati ini, saya masih bisa melihat Aji dok?”
“mungkin hanya beberapa jam saja bu,
setelah itu, mungkin ibu telah tiada”
“baiklah dok segera lakukan
operasinya.” Kataku yakin, tapi sebenarnya, aku ragu apakah ini terakhir
kalinya aku dapat melihat Aji, apakah ini terakhir kalinya aku dapat merasakan
semangat karena tawa dan senyuman Aji? Tapi aku yakin Allah akan memberikan
yang terbaik.
Setelah kurasakan jarum suntuik
telah menyalurkan obat bius pada tubuhku, mataku mulai terasa berat, tapi
bayang-bayang Aji yang tertawa riang terus berkeliaran di fikiranku. Apaka ini
yang terakhir? sampai akhirnya semua berubah menjadi gelap gulita.
Kubuka mataku dengan berat. Terlihat
langit-langit kamar ruang operasi begitu putih bersih. Ku lihat disebelah
ranjangku, Aji terbaring lemah. Tapi sesuatu terasa mengganjal di bagian perut
bawah bagian kanan, aku nerasakan sakit dibagian itu, mungkin ini bekas operasi
fikirku.
Hingga akhirnya ku lihat Aji
tersadar dari tidurnya.
“mah… mah..”
“Aji kamu sudah sadar ji…?? Auuuhh…
“ perkataanku terpotong rasa sakit pada perutku
“Aji ada dimana mah?”
“kamu sekarang sedang dirumah
sakit,kamu kini telah sembuh dari penyakit kamu. Sekarang kamu bisa bermain
lagi “ jawabku sambil menahan rasa sakit. Aku tak ingin Aji tau rasa
Kesakitanku ini.
“Ji, mamah pengen pegang tangan
kamu”
“iya mah “ sembari mengulurkan
tangannya
“mamah pesen, kamu harus jadi anak
yang baik ya, jangan nakal”
“iya mah “ terlihat air mata
mengalir di pipi Aji
“kamu juga harus rajin sekolah agar
kamu jadi orang yang sukses”
“iya mah iya…” katanya mempererat
pegangan tangannya
“sekarang mamah mau istirahat
ya,kamu janji kamu harus jadi orang yang baik”
Tangannya tak bisa terlepas. Kulihat
airmatanya semakin deras. Aku juga tak bisa membendung air mataku. Kami berdua
menangis. Tapi aku yakin ini memang yang terbaik untuk Aji.
Hingga akhirnya sesuatu mulai terasa
aneh di tubuhku. Mungkinkah ini rasanya dicabut nyawa? Aku merasa kakiku mulai
mati rasa. Oh ya Allah, aku siap menghadapmu. tapi aku minta, tolong jaga Aji.
Tolong jangan biarkan ia merasakan kesedihan. Aku ingin ia tetap bahagia. Aku
ingin terus melihat ia tersenyum dan tertawa riang. Ya Allah jagalah anakku ini
ya Allah. Amiin
selamat tinggal nak....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar